Medan (Metro IDN)
Ahli hukum pidana Prof Dr Jamin Ginting SH MH, mengatakan, jika seseorang ditangkap dan mengalami kekerasan oleh polisi, penangkapan tidak sah atau batal demi hukum karena telah melanggar hak asasi manusia.
Ini disampaikan ketika didengar sebagai ahli terkait penangkapan dan penahanan Rahmadi oleh penyidik Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut, dalam sidang praperadilan yang digelar di ruang Cakra V, di PN Medan, Rabu (16/4/2025), sebagaimana dilansir dari Antara.
“Jika seseorang ditangkap dan mengalami kekerasan oleh polisi, maka penangkapan tersebut tidak sah atau batal demi hukum karena melanggar hak asasi manusia,” tegas Prof Jamin dalam sidang dipimpin Hakim Tunggal Cipto Hosari Parsaoran Nababan.
Prof Jamin menjelaskan, setiap keterangan tersangka yang diperoleh dengan paksaan tidak sah sebagai alat bukti.
“Apabila penyidik menggunakan keterangan tersebut untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau melakukan penahanan, maka seluruh produk hukum yang dihasilkan dari proses tersebut dinyatakan batal demi hukum,” katanya.
Prof Jamin menegaskan, penyidik baik itu dari pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak boleh memaksa, menyiksa, atau bahkan memberikan pertanyaan yang bersifat menjebak.
“Itu melanggar hak asasi manusia,” jelasnya dalam sidang yang dihadiri tim Bidang Hukum Polda Sumut selaku termohon.
Jadi, lanjut dia, penyidik jika memeriksa orang, maka harus menjamin hak asasi manusia, tidak boleh dipukul, pertanyaan menjebak saja tidak boleh, apalagi disiksa, itu benar-benar melanggar HAM.
“KUHAP kita tidak menganulir itu, karena dia adalah subjek terperiksa, kedudukannya sama dengan orang yang memeriksa,” terang dia.
Terkait pemeriksaan dan penahanan, dalam praktiknya menurut Prof Jamin, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) memiliki waktu pemeriksaan hingga 3 x 24 jam sesuai Undang-Undang Narkotika, sedangkan penyidik Polri mengacu pada KUHAP dengan batas waktu 1 x 24 jam.
Namun apapun lembaga penyidiknya, jika proses tersebut tidak disertai surat perintah penahanan yang sah atau dilakukan dengan cara melawan hukum, maka penahanan itu tidak sah.
Dia menambahkan, pengadilan melalui mekanisme praperadilan dapat memeriksa dan membatalkan status tersangka, apabila ditemukan bahwa keterangan yang digunakan sebagai dasar penetapan diperoleh dengan cara yang melanggar hukum, termasuk penyiksaan dan intimidasi.
“Walaupun seseorang terbukti memiliki barang bukti, jika keterangannya diperoleh lewat kekerasan, maka tetap harus dibatalkan. Negara tidak boleh melegalisasi tindakan yang melanggar hak asasi manusia,” tegas Prof Jamin.
Setelah mendengarkan ahli hukum pidana yang dihadirkan Rahmadi selaku pemohon melalui kuasa hukumnya Suhandri Umar Tarigan, Hakim Tunggal Cipto Nababan menunda persidangan dan dilanjutkan pada Kamis (17/4/2025), untuk mendengar saksi dari pihak termohon.
Di luar persidangan, Suhandri Umar Tarigan selaku kuasa hukum Rahmadi mengatakan, selain ahli hukum pidana, pihaknya juga menghadirkan dua orang saksi yakni Ridwan selaku Kepling III, Kelurahan Beting Kuala Kapias, Kecamatan Teluk Nibung, Kota Tanjungbalai dan Rahayu merupakan mantan Kepling VI.
Selain itu, pihaknya mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan oleh Direktorat Polda Sumut.
“Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan, kita minta hakim membatalkan penetapan klien kami sebagai tersangka “ ujar Suhardi.
Diketahui, Rahmadi mengajukan permohonan permohonan praperadilan dengan register perkara No : 18/Pid.Pra/ 2025/PN Mdn, ke Pengadilan Negeri Medan, untuk menguji keabsahan penetapan status tersangka yang dilakukan Ditresnarkoba Polda Sumut Cq Penyidik Kompol Dedy Kurniawan terhadap Rahmadi.(Ant/snn/red)