Dosen Pengampu : Dr. Fajar Khaify Rizky SH.,MH & Dr. Rosmalinda SH., LLM
Oleh : Kristiani Siagian & Adelia Grebelia Pangaribuan
Angka kekerasan terhadap anak di Indonesia sepanjang paruh pertama 2025 kembali mencatat tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), lebih dari 10.517 anak tercatat menjadi korban kekerasan hingga pertengahan tahun, dan lebih dari separuhnya berada pada rentang usia 13 hingga 17 tahun[1]. Fakta ini menyentak publik karena kelompok usia remaja seharusnya menikmati masa pertumbuhan produktif, namun justru terperangkap dalam lingkaran kekerasan, terutama di dalam lingkup rumah tangga.
Remaja usia 13–17 tahun merupakan kelompok yang berada dalam fase transisi antara anak-anak menuju dewasa. Di tahap ini, mereka sedang membangun identitas diri, mencari pengakuan sosial, serta mengalami perubahan biologis maupun psikologis yang signifikan. Justru di fase krusial ini, catatan SIMFONI PPA menunjukkan bahwa remaja kerap menjadi korban kekerasan fisik, psikis, hingga seksual[2]. Mayoritas kasus dilaporkan melibatkan pelaku yang masih memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti orang tua, kerabat, atau bahkan pasangan sebaya. Para pemerhati anak menilai, kondisi ini mencerminkan masih lemahnya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan[3]. Alih-alih menghadirkan rasa aman, rumah kerap berubah menjadi ruang reproduksi kekerasan. Situasi tersebut diperparah dengan adanya ketimpangan relasi kuasa dalam keluarga, minimnya literasi orang tua terkait pola asuh tanpa kekerasan, serta kuatnya budaya patriarkal di banyak daerah.
Fenomena kekerasan terhadap anak di Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), angka kekerasan terus meningkat, terutama pada kelompok usia remaja 13–17 tahun[4]. Data ini mengungkapkan bahwa remaja berada pada posisi paling rentan, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun sosial.
Tabel di atas menunjukkan jumlah korban kekerasan anak sepanjang tahun 2025. Dari total 16 ribu korban, lebih dari separuhnya berasal dari kelompok usia 13–17 tahun, yaitu sebanyak 9517 anak. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata betapa remaja, yang seharusnya berada pada masa pencarian jati diri, justru dihadapkan dengan kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.
Diagram batang di atas memperlihatkan ketimpangan yang cukup signifikan antar kelompok usia. Anak usia dini (0–5 tahun) masih menunjukkan angka korban yang cukup tinggi, tetapi lonjakan drastis terlihat pada usia 13–17 tahun. Kesenjangan ini menandakan bahwa semakin bertambah usia anak, semakin kompleks pula risiko kekerasan yang dihadapi, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun pergaulan sosial. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa remaja lebih rentan mengalami kekerasan berbasis relasi kuasa, baik dari orang tua, pasangan sebaya, maupun lingkungan yang lebih luas[5].
Diagram kedua memperlihatkan distribusi jenis kekerasan. Pada kelompok usia 0–5 tahun, kekerasan fisik menempati porsi terbesar. Namun, pada usia 6–12 tahun, kekerasan psikis mulai meningkat, terutama dalam bentuk perundungan (bullying) dan tekanan emosional dari orang tua maupun guru. Sementara itu, pada kelompok usia 13–17 tahun, kekerasan seksual mengalami lonjakan signifikan, menunjukkan betapa rentannya remaja terhadap eksploitasi maupun pelecehan seksual. Temuan ini memberikan alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperketat perlindungan, bukan hanya dalam bentuk hukum, tetapi juga pengawasan sosial dan pendidikan seksualitas yang komprehensif[6].
Secara normatif, Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang cukup kuat. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) secara tegas melarang segala bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik fisik, psikis, maupun seksual[7]. Pasal 5 UU PKDRT menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Hal ini mencakup anak sebagai salah satu anggota inti keluarga yang berhak atas perlindungan penuh. Selain itu, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memperkuat perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan, termasuk kewajiban negara, pemerintah daerah, serta masyarakat untuk memberikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi[8]. Ditambah, hadirnya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan ruang hukum baru bagi korban anak remaja untuk mendapatkan akses keadilan dan pemulihan yang lebih menyeluruh, baik dari sisi psikologis maupun restitusi ekonomi[9].
Meski perangkat hukum tersebut sudah tersedia, implementasi di lapangan sering kali terhambat oleh kendala teknis dan struktural. Banyak laporan kasus yang mandek di meja aparat penegak hukum karena korban atau keluarga korban mencabut laporan akibat tekanan sosial, ketergantungan ekonomi, maupun stigma lingkungan[10]. Hal ini memperlihatkan adanya jurang lebar antara aturan tertulis dengan realitas penegakan.
Beberapa kasus yang terungkap ke publik sepanjang 2025 menunjukkan betapa rumitnya persoalan kekerasan anak remaja. Di salah satu daerah di Jawa Tengah, seorang siswi SMP mengalami kekerasan seksual berulang kali oleh ayah tirinya. Kasus ini baru terbongkar setelah korban mengalami trauma mendalam yang mengganggu proses belajar. Namun, proses hukum sempat tersendat karena keluarga besar menekan korban untuk berdamai demi menjaga “nama baik”. Kasus ini menjadi sorotan karena mencerminkan betapa masih kuatnya budaya victim-blaming dan ketakutan sosial dalam keluarga korban. Di sisi lain, di sebuah kota besar, laporan tentang kekerasan psikis terhadap anak SMP yang dipaksa belajar hingga larut malam oleh orang tuanya mencuat. Meski tidak menimbulkan luka fisik, tekanan mental yang berlebihan membuat anak tersebut mengalami depresi berat. Kasus ini memperlihatkan bahwa kekerasan tidak selalu berwujud fisik, tetapi juga bisa berbentuk tekanan psikologis yang sama berbahayanya.
Implementasi UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak masih menghadapi sejumlah hambatan. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak bukan sekadar urusan domestik, tetapi tindak pidana yang bisa diproses hukum. Kedua, minimnya akses korban terhadap layanan pendampingan. Meskipun telah ada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak, banyak daerah yang masih kekurangan sumber daya manusia maupun fasilitas rumah aman. Ketiga, budaya patriarkal dan stigma sosial sering kali membuat korban remaja enggan melapor karena takut disalahkan atau dikucilkan. Selain itu, persoalan restorative justice dalam kasus KDRT kerap menuai kontroversi. Di satu sisi, mekanisme ini dianggap memberikan solusi damai. Namun, dalam praktiknya, banyak kasus berakhir tanpa keadilan bagi korban, karena tekanan sosial membuat korban mencabut laporan atau menerima perdamaian yang tidak setara. Sekolah sebagai ruang kedua bagi anak seharusnya memiliki peran lebih aktif dalam mendeteksi gejala kekerasan. Guru dan konselor sekolah perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan fisik maupun psikis yang dialami siswa. Selain itu, kolaborasi dengan komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil penting untuk memperluas jejaring perlindungan anak. Tanpa dukungan ekosistem yang kuat, korban remaja akan terus terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum evaluasi serius bagi negara. Data yang menunjukkan lebih dari separuh korban anak berasal dari kelompok remaja harus dibaca sebagai alarm darurat. Perlindungan hukum yang ada sudah cukup progresif, namun tantangan nyata terletak pada pelaksanaan. Pemerintah daerah perlu memperkuat keberadaan UPTD PPA, memastikan akses korban pada layanan medis, psikososial, hingga bantuan hukum. Selain itu, aparat penegak hukum perlu dilatih secara khusus agar lebih sensitif menangani kasus anak korban KDRT. Statistik pertengahan 2025 menunjukkan bahwa anak remaja usia 13–17 tahun menanggung beban terbesar sebagai korban kekerasan rumah tangga. Angka ini bukan sekadar data, tetapi potret nyata generasi muda yang kehilangan rasa aman di rumah sendiri. Dengan keberadaan UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS, seharusnya perlindungan dapat diberikan lebih maksimal. Namun, tanpa keberanian politik, penguatan layanan daerah, serta perubahan budaya sosial, kasus-kasus kekerasan ini hanya akan menjadi catatan statistik tahunan yang terus berulang.
[1] SIMFONI PPA. (2025). Data kasus kekerasan anak Januari–Juni 2025. Jakarta: KemenPPPA.
[2] SIMFONI PPA. (2025). Data kasus kekerasan anak menurut kelompok usia.
[3] Komnas Perempuan. (2025). Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan dan anak 2025.
[4] KPAI & KemenPPPA. (2025). Laporan tengah tahun kekerasan anak. Jakarta
[5] UNICEF Indonesia. (2025). Child protection report: Indonesia 2025. Jakarta: UNICEF.
[6] BPS. (2025). Statistik sosial: Kekerasan terhadap anak 2025. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
[10] Polri. (2025). Statistik kasus kekerasan anak Januari–Juni 2025. Jakarta: Divisi Humas Polri.
DAFTAR RUJUKAN
Badan Pusat Statistik. (2025). Statistik sosial: Kekerasan terhadap anak 2025. Jakarta: BPS.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2025). Laporan tengah tahun kekerasan anak. Jakarta: KemenPPPA & KPAI.
Komnas Perempuan. (2025). Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan dan anak 2025. Jakarta: Komnas Perempuan.
Polri. (2025). Statistik kasus kekerasan anak Januari–Juni 2025. Jakarta: Divisi Humas Polri.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). (2025). Data kasus kekerasan anak Januari–Juni 2025. Jakarta: KemenPPPA.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). (2025). Data kasus kekerasan anak menurut kelompok usia. Jakarta: KemenPPPA.
UNICEF Indonesia. (2025). Child protection report: Indonesia 2025. Jakarta: UNICEF.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.