Medan(Metro IDN)
Sebanyak 140 perkara tindak pidana umum (Pidum) telah dihentikan
penuntutannya di wilayah hukum Kejati Sumut hingga awal Desember 2023,
dengan menerapkan keadilan restoratif atau restorative justoice (RJ). Penghentian itu dilakukan setelah mendapat persetujuan JAM Pidum
Kejagung atas usul beberapa Kajari di Sumut, dengan mempedomani
Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kajati Sumut melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH MH
menyebutkan, dari 140 perkara yang dihentikan dengan pendekatan humanis itu, urutan pertama penyumbang perkara terbesar untuk dihentikan adalah Kejari Simalungun (15 perkara) disusul Kejari
Langkat (14 perkara), kemudian Kejari Asahan dan Kejari Labuhanbatu masing-masing 13 perkara.
“Untuk urutan 4, 5 dan 6 adalah Cabjari Deli Serdang di Labuhan Deli (10 perkara), Kejari Belawan (8 perkara) dan Kejari Tanjung Balai (7 perkara), selebihnya bervariasi dari 1 perkara sampai 5 perkara,”sebut Yos A Tarigan sebagaimana dalam siaran persnya via WA kepada wartawan, Senin (11/12-2023).
Dijelaskan, adapun syarat dari penghentian penuntutan terhadap perkara pidana yang diajukan adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun, kerugian yang
ditimbulkan tidak lebih dari Rp 2,5 juta, antara tersangka dan korban ada kesepakatan untuk berdamai.
Kasi Penkum Kejati Sumut mengimformasikan, bawah sebelumnya Jaksa Agung RI ST Burhanuddin pernah menyampaikan bahwa hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekadar prosedur hukum. Di
samping harus kompeten dan adil, hukum juga harus mampu mengenali
keinginan publik yang tergambar dalam hukum yang hidup di masyarakat
serta berorientasi terhadap tercapainya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Lebih lanjut Yos menyampaikan, yang terpenting dari proses penghentian
penuntutan perkara dengan penerapan keadilan restotarif adalah esensinya, yaitu kenapa tersangka sampai melakukan tindak pidana dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Setelah terwujud perdamaian antara tersangka dan korban, maka penghentian penuntutan ini lebih menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.
“Penyelesaian perkara dengan menghentikan penuntutan di kejaksaan
berdasarkan penerapan keadilan restoratif sehingga tidak perlu sampai ke
persidangan, adalah lebih menekankan pada tercapainya tujuan dari hukum itu sendiri yaitu untuk keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum,” katanya.(red)