Kekerasan berbasis gender masih menjadi salah satu masalah sosial paling serius di
Indonesia. Sepanjang tahun 2025, Kepolisian Republik Indonesia mencatat 36.148 kasus
kekerasan berbasis gender di seluruh wilayah. Dari jumlah tersebut, perempuan dan anak
mendominasi sebagai korban, baik dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga
praktik perdagangan orang (TPPO). Data Polri menunjukkan bahwa 189 kasus perdagangan
orang berhasil diungkap pada semester pertama 2025 saja, dengan korban mayoritas
perempuan dan anak. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun, mengingat
kasus-kasus baru masih bermunculan di berbagai daerah. Fenomena ini menegaskan adanya
kaitan erat antara tingginya angka kekerasan berbasis gender dengan praktik perdagangan
manusia yang terorganisasi. Dibawah ini ditampilkan diagram batang dan pie chart yang
menjelaskan kasus kekerasan berbasis gender dan TPPO pada tahun 2025:


Potret Kekerasan Gender di Indonesia 2025
Kekerasan berbasis gender merupakan istilah yang mencakup segala bentuk kekerasan
yang didasarkan pada jenis kelamin atau gender korban. Di Indonesia, bentuknya beragam,
mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, pemerkosaan,
pelecehan, hingga perdagangan manusia yang menjadikan perempuan dan anak sebagai objek
eksploitasi. Dalam catatan Polri, lebih dari separuh korban kasus kekerasan pada 2025 adalah
perempuan berusia produktif, sementara sisanya anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki.
Kasus-kasus itu banyak terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi serta daerah
pengirim pekerja migran, seperti Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Kepulauan Riau.
Kasus terbaru yang mencuri perhatian publik antara lain terungkapnya sindikat
perdagangan bayi di Jawa Barat, di mana bayi perempuan diperdagangkan dengan harga sekitar
Rp19 juta. Ada pula kasus di Aceh Selatan, ketika seorang siswi SMA dijebak menjadi korban
TPPO melalui tawaran pekerjaan dengan imbalan menggiurkan. Fakta-fakta ini
menggambarkan bahwa perempuan dan anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap
praktik perdagangan manusia.
Modus Baru Perdagangan Orang
Perdagangan orang tidak lagi menggunakan pola klasik seperti perekrutan langsung
melalui calo. Seiring berkembangnya teknologi, sindikat kini banyak memanfaatkan media
sosial dan aplikasi pesan instan. Tawaran pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di luar
negeri, pemandu karaoke, hingga penawaran “kerja magang” di Eropa sering kali digunakan
untuk menjebak korban.
Dalam beberapa kasus, korban direkrut secara daring, kemudian dipindahkan ke rumah
penampungan ilegal sebelum akhirnya diberangkatkan ke luar negeri. Mereka tidak hanya
dieksploitasi secara ekonomi sebagai pekerja tanpa gaji layak, tetapi juga menjadi korban
kekerasan seksual dan fisik.
Polri menyatakan bahwa dari 189 kasus TPPO yang diungkap, sekitar 40 persen
melibatkan eksploitasi seksual, sedangkan sisanya berbentuk pekerja migran non-prosedural
dan perdagangan bayi. Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak masih diposisikan
sebagai objek yang paling mudah dikendalikan oleh jaringan kriminal.
Kasus Kekerasan Seksual oleh Aparat
Tragedi lain yang turut mewarnai laporan tahun 2025 adalah kasus dugaan pelecehan
seksual terhadap tiga anak di bawah umur oleh seorang mantan Kapolres di Ngada, Nusa
Tenggara Timur. Kasus ini menjadi sorotan publik karena pelaku berasal dari kalangan aparat
penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat.
Tidak hanya melakukan pelecehan, pelaku juga merekam aksi tersebut dan
menyebarkannya ke situs porno, sehingga memperburuk trauma korban1. Kasus ini
menunjukkan adanya persoalan serius dalam pengawasan internal aparat serta lemahnya
perlindungan terhadap anak dari lingkaran kekuasaan.
Landasan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak
Secara normatif, Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup kuat untuk melindungi
perempuan dan anak dari praktik perdagangan manusia dan kekerasan berbasis gender.
Beberapa regulasi penting antara lain:
1. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO): UU ini memberikan ancaman pidana hingga 15 tahun penjara bagi pelaku
TPPO serta mengatur mengenai restitusi atau ganti rugi bagi korban.
2. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Regulasi ini menekankan
kewajiban negara, keluarga, dan masyarakat untuk memberikan perlindungan
menyeluruh terhadap anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk eksploitasi seksual
dan perdagangan.
3. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): UU ini
memperkuat perlindungan bagi korban kekerasan seksual, termasuk hak untuk
mendapatkan pemulihan psikologis, kesehatan reproduksi, hingga jaminan keadilan di
pengadilan.
Namun demikian, implementasi dari regulasi-regulasi tersebut masih menghadapi kendala. Restitusi bagi korban, misalnya, sering kali tidak berjalan karena keterbatasan dana atau proses birokrasi yang panjang.
Kendala Penanganan di Lapangan
Meski jumlah pengungkapan kasus meningkat, penanganan korban masih jauh dari harapan. Banyak korban anak yang tidak bisa kembali bersekolah setelah mengalami trauma, sementara perempuan korban TPPO kesulitan mendapatkan pekerjaan karena stigma sosial.
Selain itu, rumah aman atau shelter bagi korban perdagangan orang di beberapa daerah masih minim fasilitas. Sebagian korban bahkan harus kembali ke lingkungan yang sama dengan risiko tereksploitasi ulang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah perlindungan hukum yang sudah ada benar-benar efektif?
Aktivis dari Komnas Perempuan menilai, pemerintah masih terlalu berfokus pada penindakan pelaku, sementara pemulihan korban sering kali diabaikan. “Korban butuh rehabilitasi psikologis, layanan hukum gratis, dan jaminan pendidikan. Tanpa itu, mereka akan tetap rentan meski pelaku sudah ditangkap,” ujarnya.
Upaya Pemerintah dan Tantangan ke Depan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan akan memperkuat koordinasi dengan Polri, Imigrasi, dan gugus tugas TPPO. Salah satu langkah yang tengah diupayakan adalah penyediaan pusat layanan terpadu di setiap provinsi, sehingga korban bisa langsung mendapatkan bantuan hukum, medis, dan psikologis.
Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan revisi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO (RAN PPTPPO) untuk periode 2025–2029. Rencana ini diharapkan dapat menjawab tantangan baru, terutama terkait perdagangan orang yang memanfaatkan teknologi digital.
Namun, para ahli menegaskan bahwa pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan aparat. Dibutuhkan edukasi masyarakat, terutama di desa-desa pengirim pekerja migran, agar perempuan dan anak tidak mudah tergiur tawaran kerja palsu. Pemberdayaan ekonomi lokal juga harus diperkuat, karena kemiskinan sering kali menjadi pintu masuk sindikat perdagangan orang.
Angka 36.148 kasus kekerasan berbasis gender pada 2025 bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata bahwa perempuan dan anak masih berada dalam posisi paling rentan di masyarakat. Dengan 189 kasus TPPO yang terungkap, mayoritas melibatkan perempuan dan anak, jelas bahwa tindak perdagangan manusia dan kekerasan gender saling terkait erat. Meski Indonesia telah memiliki UU TPPO, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS, implementasinya masih jauh dari ideal. Tantangan terbesar bukan hanya pada penindakan pelaku, tetapi juga pada pemulihan korban agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan dengan martabat. Ke depan, perlindungan perempuan dan anak membutuhkan sinergi lebih luas antara pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil, serta keluarga. Tanpa itu, sindikat perdagangan manusia akan terus mencari celah, dan korban perempuan serta anak akan terus berjatuhan.
Oleh :
Ceria Cristy Kayani Sihombing
Vinata Maharani Zebua