Medan (metroIDN)
Sebanyak 6 perkara tindak pidana umum (Pidum) dengan 6 tersangka yang
diajukan beberapa Kejari di Indonesia, disetujui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk dihentikan penuntutan nya berdasarkan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).
“Selanjutnya Jaksa Agung melalui JAM- Pidum Dr Fadil Zumhana, Senin (26/2-2024) memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang mengusulkan penghentian itu untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” sebut Kapuspenkum Kejagung Dr Ketut
Sumedana dalam keterangan tertulis via grup WatsApp, Senin (26/2-2024).
Disampaikan, penerbitan SKP2 itu adalah berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM- Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
Adapun ke-6 perkara tersangka yang dihentikan itu adalah, Febiana Oroh alias Eva dari Kejaksaan Negeri ( Kejari) Minahasa, terkait perkara penganiayaan melanggar Pasal 351 KUHP, tersangka Sukarman als Kremek bin Arjo Sentono (Alm) dari Kejari Klaten perkara pencurian (Pasal 362 KUHP), tersangka Sutarji bin Alm Suhar dari Kejari Semarang dalam perkara penganiayaan (Pasal 351 Ayat (1) KUHP).
Kemudian perkara tersangka Junaedi alias Dedi bin (Alm.) Mansur dari Kejari Samarinda terkait penadahan (Pasal 480 Ayat (1) KUHP), perkara tersangka Tamrin bin Daeng Talli dari Kejari Samarinda terkait penadahan (Pasal 480 Ayat (1) KUHP), perkara tersangka Azhar alias Degur dari Kejari Lombok Tengah terkait penganiayaan (Pasal 351 Ayat (1) KUHP).
Alasan pemberian penghentian penuntutan antara lain, karena telah
dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Kemudian proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, serta tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. “ Alasan lainnya karena pertimbangan sosiologis yaitu karena penyelesaian masalah dengan menerapkan RJ mendapat respon positif dari masyarakat”, kata Kapuspenkum Kejagung. (MSS/red)