Medan (metro Idn)
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumut Dr Iwan Ginting
SH MH menyampaikan, tindak pidana baru yang sama sekali baru dalam
KUHP baru adalah kohabitasi Pasal 412 KUHP, penyesatan terhadap proses
peradilan Pasal 278 KUHP, mengganggu dan merintangi proses peradilan Pasal 280, dan hubungan seksual dengan hewan Pasal 337 Ayat (1) huruf b.
Kemudian juga termasuk tindak pidana baru,yaitu tindak pidana yang diambil dari luar KUHP lama; undang undang (UU) 24/2009, UU 7/2011, UU 11/2008, UU 40/2008, UU 23/2004, UU 36/2009, UU 23/2002, UU 21/2007, UU 44/2008 dan UU 6/2011.
“Topik atau materi tentang tindak pidana baru dalam itu disampaikan Aspidsus Kejati Sumut Iwan Ginting, saat menjadi dosen tamu dalam kuliah umum mahasiswa Fakultas Hukum USU dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis Ke- 70 FH USU di Aula FH USU, Selasa (20/2/2024),” kata Kasi Penkum/Humas Kejati Sumut Yos A Tarigan SH MH dalam siaran persnya, via WatsApp kepada wartawan, Jumat ( 23/2-2024).
Diinformasikan Yos, saat Iwan Ginting yang juga ketua Panitia Dies Natalis FH USU melempar isu terkait kohabitasi, beberapa mahasiswa langsung memberikan tanggapannya. Dan rata-rata dari mahasiswa yang memberi pendapat menolak yang namanya ‘kumpul kebo’ karena tidak diikat dengan pernikahan.
Dimana, dalam KUHP “Baru” soal ini diatur dalam pasal 412. Adapun isi
lengkap Pasal 412 KUHP:
(1) Setiap orang yang melakukan hidup hubungan bersama sebagai suami
istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.
Selain itu perdebatan dan pemberian pendapat juga sangat beragam terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi di negeri ini. Ada yang berpendapat bahwa undang-undang baru melemahkan fungsi lembaga penegak hukum dan ada juga mahasiswa yang memberikan pendapat berbeda.
Sementara menurut Yos Tarigan dalam tanggapannya, dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi di negeri ini, masing- masing lembaga penegak hukum sudah memiliki UU sendiri, SOP dan tata kelola penanganan perkaranya. Pada prinsipnya penanganan perkara tindak pidana korupsi itu kewenangannya ada pada lembaga masing-masing,” kata
Yos saat diminta narasumber untuk memberikan masukannya.
Menurut dia, perbedaan pandangan, pendapat dan pemahaman tidak hanya
terjadi pada aparat penegak hukum. Jauh sebelum UU KUHP yang baru disahkan, perbedaan ini bahkan sudah dimulai, yaitu antara pihak yang mendukung dengan pihak yang menentang UU KUHP.
“Perbedaan pendapat dan pandangan ini antara lain meliputi pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati,
dan tindak pidana khusus. Penyamaan pandangan dan pemahaman APH
menjadi penting karena penegak hukum yang akan menjadi ujung tombak dalam mengimplementasikan KUHP,” tegas Yos.
Diinformasikannya, berdasarkan putusan MK (mahkamah konstitusi) yang
dibacakan 16 Januari 2024 lalu , Kejaksaan tetap memiliki kewenangan melakukan penyelidikan (Lid) dan penyidikan(Dik) perkara dugaan korupsi. Pasalnya, sesuai ketentuan hukum memberi kewenangan penyidikan korupsi kepada Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (MSS/red)