Dosen Pengampu: Dr. Fajar Khaify Rizky SH.,MH & Dr. Rosmalinda SH., LLM
Oleh : Ayu Eka Putri Lawolo & Yedija Sidabutar
Di ujung timur Lombok, seorang gadis belia baru berusia 15 tahun dipaksa menikah dengan remaja laki-laki 17 tahun. Alasan yang terdengar klasik: menjaga “kehormatan” keluarga. Namun di balik narasi adat, tersembunyi realitas getir: hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan yang layak direnggut secepat kilat. Kasus ini menambah panjang daftar pernikahan anak di daerah terpencil Indonesia sepanjang 2025, meski undang-undang sudah jelas melarang praktik tersebut.
Data terbaru Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat, hingga Mei 2025 sudah ada 146 kasus pernikahan anak. Dari jumlah itu, Kabupaten Bima menjadi penyumbang terbesar dengan 81 kasus, disusul Dompu (23 kasus), Lombok Tengah (17 kasus), serta wilayah lain di Pulau Sumbawa dan Lombok[1]. Bupati Bima bahkan mengakui bahwa sebagian besar dispensasi nikah diajukan karena faktor “hamil di luar nikah” dan keterbatasan pengawasan keluarga[2]. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan anak bukan sekadar soal adat, melainkan juga berkaitan erat dengan kurangnya edukasi reproduksi dan lemahnya sistem perlindungan anak di daerah terpencil.
Kasus viral di Lombok Tengah menjadi alarm nasional. Seorang siswi SMA yang baru berumur 15 tahun dinikahkan dengan remaja laki-laki berusia 17 tahun. Foto dan video pernikahan mereka beredar di media sosial, menuai kritik keras publik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan tegas: “Perkawinan usia anak adalah pelanggaran serius terhadap hak anak. Negara sudah menentukan usia minimal menikah adalah 19 tahun, tanpa terkecuali.”[3]. Namun, ironisnya, praktik dispensasi nikah masih memberi celah. Orang tua yang merasa “terdesak” atau “malu” memilih jalur hukum untuk mempercepat pernikahan anak mereka. Dan di sinilah hukum nasional berbenturan dengan praktik sosial-budaya lokal.
Fenomena serupa juga terlihat di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Wajo dan Bone. Laporan lembaga advokasi YASMIB mencatat, permohonan dispensasi nikah masih tinggi di dua kabupaten tersebut[4]. Organisasi ini mendorong pembentukan Peraturan Desa (Perdes) yang secara spesifik mencegah pernikahan anak. Perdes dianggap lebih efektif karena bersifat mengikat di tingkat lokal, sekaligus memberi dasar hukum bagi kepala desa untuk menolak praktik pernikahan dini. Namun, implementasinya tidak selalu mudah. Tekanan sosial, kemiskinan, dan minimnya edukasi kesehatan reproduksi tetap menjadi tembok yang sulit ditembus.
Mengapa pernikahan anak masih bertahan di abad ke-21? Jawabannya kompleks:
1. Adat dan Norma Lokal
Di Lombok, misalnya, praktik “merariq” (kawin lari) masih ditafsirkan secara keliru. Banyak orang tua menganggap pernikahan cepat sebagai “jalan keluar” daripada membiarkan anak perempuan mereka berpacaran lama-lama[5].
2. Faktor Ekonomi
Di desa-desa terpencil, anak perempuan sering dianggap beban. Dengan menikahkannya, satu mulut hilang dari tanggungan. Lebih dari itu, keluarga merasa “aman” karena ada pihak lain yang bertanggung jawab².
3. Akses Pendidikan dan Kesehatan Minim
Banyak anak perempuan di desa terpencil hanya menamatkan SMP. Jarak sekolah menengah atas terlalu jauh, biaya transportasi tinggi, dan orang tua enggan melepas anak ke kota. Layanan kesehatan reproduksi juga sulit dijangkau. Puskesmas keliling jarang datang, apalagi konseling remaja.
4. Kurangnya Edukasi Seks dan Reproduksi
Di banyak sekolah, pendidikan seks masih tabu. Anak-anak tumbuh tanpa pengetahuan cukup tentang tubuhnya sendiri, risiko kehamilan dini, atau cara melindungi kesehatan reproduksi. Hasilnya: hamil di luar nikah jadi alasan terbesar dispensasi.
Ketika seorang anak perempuan dipaksa menikah, hak-haknya tercederai. Hak atas tubuhnya, hak menunda kehamilan, hingga hak mengakses layanan kesehatan berkualitas.
Fenomena pernikahan anak di daerah terpencil juga erat kaitannya dengan ketidaksetaraan gender yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Anak perempuan sering kali ditempatkan pada posisi subordinat, di mana keberadaannya dianggap sebagai beban ekonomi keluarga. Dalam kondisi tersebut, menikahkan anak di usia dini dianggap sebagai jalan keluar untuk meringankan tanggungan keluarga, meskipun praktik tersebut jelas merampas hak anak untuk tumbuh, berkembang, dan memperoleh pendidikan yang layak.
Di sisi lain, akses layanan kesehatan reproduksi di wilayah pedesaan masih sangat terbatas. Puskesmas maupun klinik kesehatan jarang memberikan edukasi menyeluruh terkait kesehatan reproduksi dan risiko pernikahan dini. Akibatnya, banyak anak perempuan yang hamil di usia belia tanpa pemahaman yang memadai mengenai proses kehamilan, persalinan, maupun dampak jangka panjang terhadap tubuh mereka. Hal ini sejalan dengan data WHO (2023) yang menunjukkan bahwa remaja perempuan yang hamil memiliki risiko komplikasi persalinan lebih tinggi dibandingkan perempuan dewasa.
Banyak penelitian medis menunjukkan bahwa kehamilan di usia belia berisiko tinggi. Remaja 15–17 tahun berpotensi mengalami komplikasi seperti perdarahan, eklampsia, hingga kematian ibu dan bayi[6]. Di sisi lain, mereka belum siap secara psikologis menghadapi peran sebagai istri dan ibu. Seorang gadis 16 tahun di Dompu (nama disamarkan) menceritakan pengalamannya usai melahirkan: “Saya tidak tahu kalau hamil itu bisa berbahaya. Saya sering pingsan. Bidan bilang tubuh saya belum siap. Tapi orang tua tetap ingin saya menikah.” Kisah seperti ini menegaskan bagaimana hak reproduksi anak perempuan hilang begitu saja karena tekanan lingkungan.
Faktor sosial-budaya juga memperparah masalah ini. Dalam beberapa komunitas adat, pernikahan anak dianggap sebagai bagian dari tradisi yang tidak boleh dilanggar. Tekanan dari keluarga besar dan komunitas membuat anak sulit menolak pernikahan, bahkan ketika mereka sebenarnya ingin tetap bersekolah. Sayangnya, belum banyak kebijakan lokal yang berani secara tegas menentang praktik ini, meskipun telah ada landasan hukum nasional seperti UU No. 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun.
Selain itu, penegakan hukum terkait perlindungan anak sering kali terhambat oleh birokrasi dan lemahnya koordinasi antar-lembaga. Kasus-kasus pernikahan anak di daerah terpencil jarang diproses hingga tuntas, sebagian besar berhenti pada upaya mediasi atau dibiarkan berjalan karena alasan “kearifan lokal”. Kondisi ini menimbulkan paradoks: di satu sisi, negara memiliki perangkat hukum untuk melindungi anak, namun di sisi lain, implementasinya sering kali tidak menyentuh masyarakat paling rentan yang justru membutuhkan perlindungan terbesar. Secara hukum, Indonesia sudah cukup tegas:
- UU No. 16 Tahun 2019: usia minimal menikah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan³.
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diperbarui dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016: anak (di bawah 18 tahun) wajib dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi[7].
- UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 Tahun 2022: pernikahan paksa, termasuk perkawinan anak, dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual[8].
- Perda NTB No. 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak: regulasi khusus di tingkat provinsi[9].
Namun, ada satu celah besar: dispensasi nikah. Pengadilan agama kerap mengabulkan permohonan dispensasi dengan alasan “demi kebaikan anak” atau “sudah hamil duluan”. Alhasil, regulasi nasional kehilangan daya gigit di lapangan.
Pakar sosiologi Universitas Mataram, Dr. Ni Made Puspasari, menilai bahwa pencegahan pernikahan anak tidak bisa hanya mengandalkan undang-undang. “Adat, norma lokal, dan ekonomi adalah kunci. Selama tidak ada solusi ekonomi di desa terpencil, pernikahan anak akan terus terjadi,” ujarnya. Aktivis perempuan di Sulawesi Selatan juga menyuarakan pentingnya edukasi reproduksi sejak dini. “Anak-anak tidak tahu hak mereka atas tubuh. Itu sebabnya mereka mudah dipaksa menikah,” kata Nurhayati, staf YASMIB⁴.
Pernikahan anak di daerah terpencil adalah potret buram yang terus berulang. Data NTB, kasus di Lombok Tengah, dan laporan dari Sulawesi Selatan hanyalah sebagian kecil dari gunung es. Di balik setiap angka, ada wajah remaja perempuan yang kehilangan masa depan, pendidikan, dan hak kesehatan reproduksinya. Sudah waktunya negara hadir lebih kuat. Peraturan harus diperketat, dispensasi nikah dibatasi, dan edukasi reproduksi dijalankan sejak bangku sekolah dasar. Lebih dari itu, layanan kesehatan harus menjangkau desa-desa paling jauh, agar anak-anak perempuan di pelosok negeri tidak lagi menjadi korban adat, kemiskinan, dan kelengahan negara. Jika tidak, pernikahan anak akan terus menjadi warisan kelam — bukan hanya bagi korban, tapi bagi bangsa yang gagal melindungi generasi mudanya.
[1] WHO, Adolescent Pregnancy Fact Sheet, 2023
[2] UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 35 Tahun 2014; UU No. 17 Tahun 2016
[3] UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
[4] Peraturan Daerah Provinsi NTB No. 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
[5] Inside Lombok, Sepanjang 2025 Sudah Ada Raturan Kasus Perkawinan Anak di NTB, 7 Juni 2025.
[6] Detik.com, Catat Kasus Pernikahan Anak Tertinggi di NTB, Pemkab Bima Ungkap Penyebabnya, 12 Juni 2025
[7] KemenPPPA, Perkawinan Usia Anak di Lombok Tengah, Pelanggaran Serius Hak Anak, 29 Mei 2025
[8] YASMIB Sulawesi, Tingginya Perkawinan Anak di Kabupaten Wajo dan Bone, 26 Mei 2025
[9] KPAI, Angka Perkawinan Anak di Lombok Barat Tinggi: KPAI Gelar Rakor dengan Stakeholder, 2024
DAFTAR RUJUKAN
Detik.com. (2025, Juni 12). Catat kasus pernikahan anak tertinggi di NTB, Pemkab Bima ungkap penyebabnya. https://www.detik.com
Inside Lombok. (2025, Juni 7). Sepanjang 2025 sudah ada raturan kasus perkawinan anak di NTB. https://insidelombok.id
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). (2025, Mei 29). Perkawinan usia anak di Lombok Tengah, pelanggaran serius hak anak. https://kemenpppa.go.id
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2024). Angka perkawinan anak di Lombok Barat tinggi: KPAI gelar rakor dengan stakeholder. https://www.kpai.go.id
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2021). Peraturan Daerah Provinsi NTB No. 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Pemerintah Provinsi NTB.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lembaran Negara RI Tahun 2022 No. 120.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016. Lembaran Negara RI.
World Health Organization (WHO). (2023). Adolescent pregnancy fact sheet. https://www.who.int
Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi. (2025, Mei 26). Tingginya perkawinan anak di Kabupaten Wajo dan Bone. https://yasmibsulawesi.or.id