Dosen Pengampu: Dr. Fajar Khaify Rizky SH.,MH & Dr. Rosmalinda SH., LLM
Oleh : Ceria Cristy Kayani Sihombing & Vinata Maharani Zebua
Kekerasan berbasis gender masih menjadi salah satu masalah sosial paling serius di Indonesia. Sepanjang tahun 2025, Kepolisian Republik Indonesia mencatat 36.148 kasus kekerasan berbasis gender di seluruh wilayah. Dari jumlah tersebut, perempuan dan anak mendominasi sebagai korban, baik dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga praktik perdagangan orang (TPPO). [1]Data Polri menunjukkan bahwa 189 kasus perdagangan orang berhasil diungkap pada semester pertama 2025 saja, dengan korban mayoritas perempuan dan anak. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun, mengingat kasus-kasus baru masih bermunculan di berbagai daerah. Fenomena ini menegaskan adanya kaitan erat antara tingginya angka kekerasan berbasis gender dengan praktik perdagangan manusia yang terorganisasi. [2]Dibawah ini ditampilkan diagram batang dan pie chart yang menjelaskan kasus kekerasan berbasis gender dan TPPO pada tahun 2025:



Potret Kekerasan Gender di Indonesia 2025
Kekerasan berbasis gender merupakan istilah yang mencakup segala bentuk kekerasan yang didasarkan pada jenis kelamin atau gender korban. Di Indonesia, bentuknya beragam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, pemerkosaan, pelecehan, hingga perdagangan manusia yang menjadikan perempuan dan anak sebagai objek eksploitasi. Dalam catatan Polri, lebih dari separuh korban kasus kekerasan pada 2025 adalah perempuan berusia produktif, sementara sisanya anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kasus-kasus itu banyak terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi serta daerah pengirim pekerja migran, seperti Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau.
Kasus terbaru yang mencuri perhatian publik antara lain terungkapnya sindikat perdagangan bayi di Jawa Barat, di mana bayi perempuan diperdagangkan dengan harga sekitar Rp19 juta[3]. Ada pula kasus di Aceh Selatan, ketika seorang siswi SMA dijebak menjadi korban TPPO melalui tawaran pekerjaan dengan imbalan menggiurkan[4]. Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa perempuan dan anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap praktik perdagangan manusia.
Modus Baru Perdagangan Orang
Perdagangan orang tidak lagi menggunakan pola klasik seperti perekrutan langsung melalui calo. Seiring berkembangnya teknologi, sindikat kini banyak memanfaatkan media sosial dan aplikasi pesan instan. Tawaran pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri, pemandu karaoke, hingga penawaran “kerja magang” di Eropa sering kali digunakan untuk menjebak korban.
Dalam beberapa kasus, korban direkrut secara daring, kemudian dipindahkan ke rumah penampungan ilegal sebelum akhirnya diberangkatkan ke luar negeri. Mereka tidak hanya dieksploitasi secara ekonomi sebagai pekerja tanpa gaji layak, tetapi juga menjadi korban kekerasan seksual dan fisik.
Polri menyatakan bahwa dari 189 kasus TPPO yang diungkap, sekitar 40 persen melibatkan eksploitasi seksual, sedangkan sisanya berbentuk pekerja migran non-prosedural dan perdagangan bayi. Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak masih diposisikan sebagai objek yang paling mudah dikendalikan oleh jaringan kriminal.
Kasus Kekerasan Seksual oleh Aparat
Tragedi lain yang turut mewarnai laporan tahun 2025 adalah kasus dugaan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur oleh seorang mantan Kapolres di Ngada, Nusa Tenggara Timur[5]. Kasus ini menjadi sorotan publik karena pelaku berasal dari kalangan aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat.
Tidak hanya melakukan pelecehan, pelaku juga merekam aksi tersebut dan menyebarkannya ke situs porno, sehingga memperburuk trauma korban[6]. Kasus ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam pengawasan internal aparat serta lemahnya perlindungan terhadap anak dari lingkaran kekuasaan.
Landasan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak
Secara normatif, Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup kuat untuk melindungi perempuan dan anak dari praktik perdagangan manusia dan kekerasan berbasis gender. Beberapa regulasi penting antara lain:
- UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO): UU ini memberikan ancaman pidana hingga 15 tahun penjara bagi pelaku TPPO serta mengatur mengenai restitusi atau ganti rugi bagi korban.
- UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Regulasi ini menekankan kewajiban negara, keluarga, dan masyarakat untuk memberikan perlindungan menyeluruh terhadap anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk eksploitasi seksual dan perdagangan.
- UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): UU ini memperkuat perlindungan bagi korban kekerasan seksual, termasuk hak untuk mendapatkan pemulihan psikologis, kesehatan reproduksi, hingga jaminan keadilan di pengadilan.

Namun demikian, implementasi dari regulasi-regulasi tersebut masih menghadapi kendala. Restitusi bagi korban, misalnya, sering kali tidak berjalan karena keterbatasan dana atau proses birokrasi yang panjang.
Kendala Penanganan di Lapangan
Meski jumlah pengungkapan kasus meningkat, penanganan korban masih jauh dari harapan. Banyak korban anak yang tidak bisa kembali bersekolah setelah mengalami trauma, sementara perempuan korban TPPO kesulitan mendapatkan pekerjaan karena stigma sosial.
Selain itu, rumah aman atau shelter bagi korban perdagangan orang di beberapa daerah masih minim fasilitas. Sebagian korban bahkan harus kembali ke lingkungan yang sama dengan risiko tereksploitasi ulang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah perlindungan hukum yang sudah ada benar-benar efektif?
Aktivis dari Komnas Perempuan menilai, pemerintah masih terlalu berfokus pada penindakan pelaku, sementara pemulihan korban sering kali diabaikan. “Korban butuh rehabilitasi psikologis, layanan hukum gratis, dan jaminan pendidikan. Tanpa itu, mereka akan tetap rentan meski pelaku sudah ditangkap,” ujarnya.[7]
Upaya Pemerintah dan Tantangan ke Depan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan akan memperkuat koordinasi dengan Polri, Imigrasi, dan gugus tugas TPPO. Salah satu langkah yang tengah diupayakan adalah penyediaan pusat layanan terpadu di setiap provinsi, sehingga korban bisa langsung mendapatkan bantuan hukum, medis, dan psikologis.
Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan revisi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO (RAN PPTPPO) untuk periode 2025–2029. Rencana ini diharapkan dapat menjawab tantangan baru, terutama terkait perdagangan orang yang memanfaatkan teknologi digital.
Namun, para ahli menegaskan bahwa pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan aparat. Dibutuhkan edukasi masyarakat, terutama di desa-desa pengirim pekerja migran, agar perempuan dan anak tidak mudah tergiur tawaran kerja palsu. Pemberdayaan ekonomi lokal juga harus diperkuat, karena kemiskinan sering kali menjadi pintu masuk sindikat perdagangan orang.
Angka 36.148 kasus kekerasan berbasis gender pada 2025 bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata bahwa perempuan dan anak masih berada dalam posisi paling rentan di masyarakat. Dengan 189 kasus TPPO yang terungkap, mayoritas melibatkan perempuan dan anak, jelas bahwa tindak perdagangan manusia dan kekerasan gender saling terkait erat. Meski Indonesia telah memiliki UU TPPO, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS, implementasinya masih jauh dari ideal. Tantangan terbesar bukan hanya pada penindakan pelaku, tetapi juga pada pemulihan korban agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan dengan martabat. Ke depan, perlindungan perempuan dan anak membutuhkan sinergi lebih luas antara pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil, serta keluarga. Tanpa itu, sindikat perdagangan manusia akan terus mencari celah, dan korban perempuan serta anak akan terus berjatuhan.
[1] Antaranews. (2025, 21 Januari). Polri catat 36 ribu kasus kekerasan berbasis gender sepanjang 2025. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/5125432/polri-catat-36-ribu-kasus-kekerasan-berbasis-gender-sepanjang-2025
[2] BBC News Indonesia. (2025, 5 Februari). Perdagangan manusia di Indonesia: Modus baru dan lemahnya perlindungan hukum. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c3enyld1x75o
[3] Kompas.id. (2025). Warga Batu beli bayi Rp 19 juta, sindikat perdagangan bayi dibongkar. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/warga-batu-beli-bayi-rp-19-juta-sindikat-perdagangan-bayi-dibongkar
[4] Beritakini. (2025). Siswi SMA jadi korban perdagangan orang di Aceh Selatan. Diakses dari https://beritakini.co/news/siswi-sma-jadi-korban-perdagangan-orang-di-aceh-selatan/index.html
[5] Tempo. (2025). Kronologi kasus dugaan pelecehan seksual 3 anak di bawah umur oleh Kapolres Ngada. Diakses dari https://www.tempo.co/hukum/ini-kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-3-anak-di-bawah-umur-kapolres-ngada–1218070
[6] Narasi TV. (2025, 2 Maret). Direkam dan disebar ke situs porno, ini kronologi pelecehan seksual anak oleh Kapolres Ngada. Diakses dari https://narasi.tv/read/narasi-daily/direkam-dan-disebar-ke-situs-porno-ini-kronologi-pelecehan-seksual-anak-oleh-kapolres-ngada
[7] Kompas.id. (2025, 15 Februari). Perdagangan bayi perempuan jadi sasaran eksploitasi jaringan sindikat pelaku. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/perdagangan-bayi-perempuan-jadi-sasaran-eksploitasi-jaringan-sindikat-pelaku
DAFTAR REFERENSI
Antaranews. (2025, 21 Januari). Polri catat 36 ribu kasus kekerasan berbasis gender sepanjang 2025. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/5125432/polri-catat-36-ribu-kasus-kekerasan-berbasis-gender-sepanjang-2025
BBC News Indonesia. (2025, 5 Februari). Perdagangan manusia di Indonesia: Modus baru dan lemahnya perlindungan hukum. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c3enyld1x75o
Beritakini. (2025, 11 Februari). Siswi SMA jadi korban perdagangan orang di Aceh Selatan. Diakses dari https://beritakini.co/news/siswi-sma-jadi-korban-perdagangan-orang-di-aceh-selatan/index.html
Kompas.id. (2025, 15 Februari). Perdagangan bayi perempuan jadi sasaran eksploitasi jaringan sindikat pelaku. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/perdagangan-bayi-perempuan-jadi-sasaran-eksploitasi-jaringan-sindikat-pelaku
Kompas.id. (2025, 20 Februari). Warga Batu beli bayi Rp 19 juta, sindikat perdagangan bayi dibongkar. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/warga-batu-beli-bayi-rp-19-juta-sindikat-perdagangan-bayi-dibongkar
Kumparan. (2025, 25 Februari). Polri ungkap 189 kasus TPPO selama 2025, korban mayoritas wanita dan anak. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/polri-ungkap-189-kasus-tppo-selama-2025-korban-mayoritas-wanita-and-anak-25IqSPJuVmV
Narasi TV. (2025, 2 Maret). Direkam dan disebar ke situs porno, ini kronologi pelecehan seksual anak oleh Kapolres Ngada. Diakses dari https://narasi.tv/read/narasi-daily/direkam-dan-disebar-ke-situs-porno-ini-kronologi-pelecehan-seksual-anak-oleh-kapolres-ngada
Tempo.co. (2025, 3 Maret). Ini kronologi kasus dugaan pelecehan seksual 3 anak di bawah umur oleh Kapolres Ngada. Diakses dari https://www.tempo.co/hukum/ini-kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-3-anak-di-bawah-umur-kapolres-ngada–1218070














