Jakarta (Metro IDN)
Wakil Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (NasDem), Saan Mustopa mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
Dia menilai, keputusan tersebut bisa mengacaukan sistem ketatanegaraan yang selama ini sudah terbangun.
“Prinsip kita bahwa putusan itu tadi, sekali lagi, itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata Saan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Saan juga menyoroti inkonsistensi MK. Dia mengingatkan bahwa pada 2019, MK justru memutuskan agar Pemilu dan Pilkada digelar serentak sebagai upaya efisiensi dan penguatan demokrasi.
“Mereka kan sudah memutuskan 2019 yang mengatur keserentakan Pemilu di mana Presiden, Wakil Presiden, DPRRI, DPDRI, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan lima kotak, itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan sikap MK yang tiba-tiba ini sangat membingungkan dan berpotensi menimbulkan kekacauan dalam penataan sistem politik dan pemilu nasional.
“Bahkan ketika itu digugat lagi, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengabulkan malah memberikan opsi, termasuk di dalamnya opsi keserentakan Pemilu yang dilakukan di 2019. Kita ingin konsistensi terkait dengan soal itu penting banget,” pungkasnya.
Alasan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak. Dalam putusan terbaru, MK menetapkan jeda waktu antara keduanya minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Ketua MK Suhartoyo menyampaikan, putusan tersebut dalam sidang pembacaan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Suhartoyo.
Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara Pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil kepala daerah.
Putusan ini merupakan respons atas permohonan uji materi Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Yayasan Perludem, diwakili Khoirunnisa Nur Agustyati dan Irmalidarti.
MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, jika tidak dimaknai bahwa pemungutan suara untuk Pemilu daerah dilakukan setelah Pemilu nasional, dengan jeda waktu tertentu.
Dengan putusan ini, MK menegaskan bahwa pengaturan jadwal pemilu tidak boleh membebani penyelenggara maupun merugikan hak-hak konstitusional warga. Model pemisahan ini diharapkan memperkuat kualitas demokrasi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu. (merdeka.com/red/MMIA)