Denpasar (Metro Idn)
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Dr Ketut Sumedana SH MH, menyoroti Pasal 132 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal tersebut berbunyi, ‘dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan penuntutan adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan’.
Sorotan itu disampaikan Sumedana, saat menjadi pembicara kunci di seminar hukum dan sosialisasi KUHP baru, yang digelar LBH KAI dan Advokasi Peduli Bangsa Bali bekerja sama dengan fakultas hukum m (FH) Unud, di FH Unud), Kamis (6/3/2025), sebagaimana dikutip dari detik.com
Menurut dia, keberhasilan proses pembuktian di persidangan oleh penuntut umum adalah keberhasilan proses penyidikan.
Dan penyidikan tersebut menurut dia, tidak bisa dilepaskan dari proses prapenututan dan penuntutan, yang tujuannya untuk mendapatkan kepastian bagi pencari keadilan, dalam hal ini pelaku dan korban.
“Kita semua yang hadir di sini setuju menghindari bolak-balik perkara dan perkara berulang tahun tanpa mendapatkan kepastian hukum,” terang Sumedana.
Oleh karena itu, papar Sumedana dalam acara yang dihadiri oleh pengacara, mahasiswa, dan akademisi senior itu, kehadiran Pasal 132 KUHP baru harus dimaknai secara harfiah.
Proses penyidikan dan penuntutan adalah bagian satu kesatuan yang utuh untuk mempertanggungjawabkan proses penegakan hukum yang berkeadilan dan bermanfaat bagi penegakan hukum dan masyarakat.
“Jadi asas Dominislitis yang berlaku universal di dunia ini jangan diartikan sempit. Jangan diartikan seolah-olah jaksa mau mengambil bagian proses penyidikan.
Di sini justru membantu proses penyidikan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana asas hukum pidana kita,” ungkap jaksa kelahiran Buleleng itu.
Dia menjelaskan perkembangan hukum pidana Indonesia yang berawal dari Code Pénal Prancis pada 1810. Hukum ini kemudian diadopsi oleh Belanda menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) pada 1881 dan diberlakukan di Hindia Belanda pada 1918.
Menurut Sumedana, hukum pidana ini di tempat asalnya sudah berkali-kali dilakukan perubahan, sementara di Indonesia masih menggunakan KUHP peninggalan.
Oleh karena itu, kehadiran KUHP baru yang akan diberlakukan awal 2026 harus dimaknai dengan modernisasi hukum pidana nasional Indonesia.
Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung itu juga menyampaikan beberapa perbedaan krusial dari pasal-pasal KUHP baru dengan yang lama.
Perbedaan pasal-pasal itu harus diketahui oleh para praktisi dan akademisi hukum, yakni mengenai pengakuan terhadap living law (hukum yang hidup), penambahan jenis pidana, judicial pardon, tindak pidana yang diakomodir dalam KUHP.
Sumedana pun menekankan pentingnya peran hakim komisaris dalam menentukan layak dan tidaknya perkara naik ke tingkat penuntutan dan peradilan. Sehingga, lembaga peradilan ke depan tidak dapat diajukan seperti saat ini.
Bagi Sumedana, hal tersebut justru memperpanjang proses hukum sehingga makin tak memberikan kepastian.
Untuk itu ia berharap kehadiran KUHP baru ini agar tidak dianggap sebagai hal yang menyulitkan atau sebagai tantangan.
“KUHP baru justru akan lebih mempermudah proses penegakan hukum yang lebih dinamis, harmonis, dan modern di masa mendatang”, ujar Sumedana. (detik/red)