Medan (metroIDN)
Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah strategis, menyikapi sekaligus upaya mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan di perusahaan swasta secara massal di Indonesia,khususnya di Sumut, di situasi sulit ekonomi saat ini.
Ketua Umum DPD Asosiasi Profesi Elektrik dan Mekanikal Indonesia (APEI) Sumut Ir Parlaungan Simangunsong ST IPM menyampaikan hal tersebut, Sabtu (28/9-2024), menanggapi pemberitaan media, menyangkut jumlah karyawan yang mengalami PHK pada tahun 2024 mencapai 539 orang.
Jumlah tersebut sesuai data dari Disnaker Sumut, sehingga situasi tersebut menambah deretan angka pengangguran di daerah ini, sebagaimana disampaikan anggota DPRD Sumut Viktor Silaen SE MM (SIB, 28/9-2024).P
Parlaungan, pelaku ekonomi yang bergerak bidang rekanan/kontraktor ini menyarankan, langkah strategis yang perlu diambil pemerintah, setidaknya dengan memberikan subsidi upah kepada perusahaan swasta agar mereka tetap dapat membayar gaji karyawan.
Selain itu memberi insentif pajak atau pengurangan pajak kepada perusahaan yang terdampak, agar biaya operasional mereka lebih ringan.
Kemudian lanjut Ketua DPD AKLI Sumut ini, perlu diberikan stimulus kepada perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karyawannya. Pemerintah biasanya mempertimbangkan hal ini sebagai langkah yang perlu untuk menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Menurutnya, stimulus ekonomi dapat dianggap sebagai investasi jangka panjang. Sebab jika perusahaan tetap beroperasi dan pekerja tetap memiliki penghasilan, siklus ekonomi akan tetap berjalan.
“Hal ini tentu membantu menjaga kestabilan ekonomi nasional, dan pada akhirnya, pajak yang dihasilkan dari perusahaan yang tetap bertahan bisa menutupi biaya stimulus tersebut,” ujar Parlaungan yang juga Ketua II DPP AKLI Pusat ini.
Menurutnya, stimulus biasanya diberikan secara selektif, misalnya hanya untuk sektor-sektor strategis atau perusahaan yang dianggap esensial bagi ekonomi nasional.
Dengan cara ini, pemerintah bisa memastikan bahwa bantuan diberikan secara efektif dan tidak membebani anggaran secara berlebihan.
Dalam beberapa kasus, lanjut mantan anggota DPRD Sumut ini, pemerintah tidak harus menanggung beban stimulus sendirian, sebab ada skema berbagi beban antara pemerintah, perusahaan dan pekerja. Misalnya, pengurangan jam kerja atau gaji sementara untuk pekerja, dukungan likuiditas dari pemerintah dan upaya penghematan biaya operasional dari perusahaan.
“Pemerintah bisa mengelola sumber daya fiskal dan mencari pendanaan dari sumber lain, seperti pinjaman internasional atau cadangan negara, sehingga beban fiskal langsung dari anggaran tidak terlalu besar,” sebut Parlaungan.
Namun yang tidak kalah pentingnya, tambah politisi Partai Golkar Sumut ini, seiring berjalannya waktu, pemerintah perlu terus menyeimbangkan kebijakan ini agar tidak menambah defisit anggaran secara signifikan, yaitu mendorong restrukturisasi ekonomi, agar perusahaan lebih mandiri dan tidak selalu bergantung pada stimulus.
“Inilah langkah strategis. Jika banyak perusahaan mengurangi karyawannya, akan meningkatkan angka pengangguran yang bisa memicu krisis sosial, seperti peningkatan angka kemiskinan, kriminalitas, dan ketidakstabilan sosial,” ujar Parlaungan.
Menurutnya, pemerintah harus tau dampak PHK massal ini tidak hanya akan dirasakan oleh perusahaan dan pekerja, tetapi juga bisa merembet ke sektor-sektor lain, seperti konsumsi rumah tangga, daya beli, dan tingkat pengangguran nasional. Ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi, yang pada akhirnya juga akan menjadi beban pemerintah.
Sebelumnya Viktor Silaen menyampaikan, menurut data dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Sumut, hingga pertengahan tahun ini, terjadi lonjakan PHK yang signifikan di beberapa sektor industri, terutama yang terkait dengan manufaktur dan perdagangan.(red).