Jakarta (MetroIDN)
Setara Institute (SI) mencatat sedikitnya 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan tahun 2023 di Indonesia. Peristiwa ini naik signifikan dibanding temuan tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan.
Ini sesuai Rilis Data Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) 2023 di Indonesia terbitan 11 Juni 2024 oleh Setara Institute, sebuah LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan HAM.
Setara Instutute lebih lanjut melaporkan, dari 329 tindakan pelanggaran, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.
Temuan jumlah peristiwa dan tindakan pada tahun tersebut menunjukkan angka yang relatif konstan dan kembali menuju peningkatan angka peristiwa seperti pada 2019, saat Jokowi memulai kepemimpinan periode II, yang membukukan angka 200 peristiwa dengan 327 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.
Tingginya angka tindakan aktor non-negara dalam peristiwa pelanggaran KBB menunjukkan tesis terjadinya penguatan kapasitas koersif warga di tengah masyarakat. Kondisi ini sekaligus menggambarkan simpul- simpul sosial sebagai penopang societal leadership sebagai penopang ekosistem toleransi belum sepenuhnya suportif pada penghormatan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Menurut Setara, data pelanggaran KBB 2023 menunjukkan tiga sorotan.Pertama, kasus gangguan tempat ibadah menjadi tren pelanggaran yang masih terus berlangsung. Ini melanjutkan tren dalam tujuh tahun terakhir, yang mana kasus gangguan tempat ibadah mengalami kenaikan yang signifikan.
Setara melanjutkan, sepanjang tahun 2023 terdapat 65 tempat ibadah, angka terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 50 tempat ibadah (2022), 44 tempat ibadah (2021), 24 tempat ibadah (2020), 31 tempat ibadah (2019), 20 tempat ibadah (2018) dan 16 tempat ibadah (2017).
Sebagian besar penolakan didasarkan pada belum terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.
Sedangkan dalam kasus-kasus lainnya, meskipun persyaratan tersebut sudah terpenuhi, penolakan dari masyarakat setempat masih terus terjadi, sehingga tempat ibadah tetap tidak diizinkan untuk dibangun.
Kedua, tren pelanggaran 2023 juga menunjukkan masih tingginya penggunaan delik penodaan agama. Hukum penodaan agama yang diskriminatif masih diadopsi dan diberlakukan oleh aparat penegak hukum dan menjadi alat penundukan yang digunakan oleh masyarakat.
Sekalipun mengalami penurunan tipis dari 19 kasus pada tahun 2022 menjadi 15 kasus pada tahun 2023, tren penggunaan delik penodaan agama menunjukkan capaian penjaminan kebebasan berpikir dan berekspresi dalam hal keagamaan masih buruk.
Setara Institute memposisikan penggunaan delik penodaan agama dalam suatu peristiwa adalah pelanggaran, karena prinsip dasar kebebasan beragama/berkeyakinan adalah negative rights, yang tidak boleh melibatkan alat-alat negara mencampurinya.
Ketiga, intoleransi oleh masyarakat dan diskriminasi oleh elemen negara menunjukkan bahwa situasi kebebasan beragama/berkeyakinan belum mengalami perbaikan.
Hal itu diindikasikan dengan masih tingginya angka intoleransi oleh masyarakat dalam 26 tindakan dan diskriminasi oleh elemen negara dalam 23 tindakan yang tercatat di tahun 2023.(relis/MSS)